Stefan lahir di California, Amerika Serikat, dari pasangan orangtua Clinton
Avery asal Amerika Serikat dan Ellen Thelma Umboh asal Manado, Indonesia.
Sempat menetap di negara asal sang ayah hingga lulus bangku sekolah dasar,
Stefan lantas melanjutkan SMP di tanah kelahiran ibu.
Di sana, Stefan tidak tinggal bersama ayah atau ibunya yang masing-masing berkarier di Amerika Serikat dan Australia, melainkan dengan Oma dan Opanya (dari pihak Ibu). Pilihan yang cukup berani untuk anak sebelia dirinya.
“Mungkin enak saja kali ya tinggal sendiri. Bisa mandiri,” Stefan menggambarkan perasaannya ketika itu.
Kemandirian Stefan termasuk pada tidak adanya campur tangan keluarga terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Stefan menegaskan, pilihan terjun ke dunia akting bukan dorongan dari pihak ayah ataupun ibunya. “Ayah sebetulnya tidak terlalu mendukung. Dia mengharapkan aku mengikuti jejaknya berkarier di bidang IT,” buka Stefan.
“Dari dulu aku juga suka banget sama games-games komputer dan semacamnya. Mungkin nanti aku akan kuliah di Binus (Bina Nusantara). Tapi sekarang belum mantap saja ke arah situ. Fifty-fifty lah.” Fifty-fifty dengan apa? Yakni sesuatu yang berkaitan erat dengan dunianya sekarang.
“Aku juga kepengin melanjutkan kuliah di IKJ (Institut Kesenian Jakarta) bidang penyutradaraan,” akunya.
Pilihannya menjadi sutradara bukan karena terinspirasi mendiang leluhurnya Wim Umboh. Stefan bahkan tidak sempat mengenal sutradara jempolan itu secara langsung kecuali dari cerita-cerita yang disampaikan kepadanya.
Lingkungan syutingnya sehari-harilah yang lebih banyak memberi pengaruh terhadap minatnya. Kepada sutradara, Stefan tidak lagi melulu bertanya seputar akting, melainkan juga tentang teknik dan seluk-beluk penyutradaraan.
“Saya sering diskusi dengan sutradara dan kru,” kata Stefan yang gara-gara dilemanya itu membuat dirinya tidak langsung melanjutkan ke bangku kuliah selepas SMA.
“Aku sekarang belum kuliah, sambil menimbang-nimbang pilih yang mana,” sambungnya.
Sementara belum memutuskan akan melanjutkan studi, Stefan memilih untuk konsentrasi penuh di akting. Cowok yang mengaku pendiam dan pemalu ini belum puas dengan pencapaiannya. “Pengin lebih mendalami dan lebih bagus lagi aktingnya,” kata Stefan.
“Aku tidak boleh juga cepat berpuas diri. Nanti jadi sombong dan itu pasti akan bikin kita cepat jatuh,” analisisnya.
Omong-omong, kami teringat pernyataan Stefan beberapa tahun lalu saat memulai debut karier akting. Bahwa kelak di usia 17 tahun atau setelah lulus SMA, dia akan pindah kembali ke Amerika Serikat dan tinggal bersama ayah. Nah, usia 17 tahun pun telah terlewati setengah tahun yang lalu.
“Iya sih, dulu aku ngomong begitu. Rencananya begitu lulus SMA aku (mungkin) lanjut kuliah di Amerika dan tinggal bersama ayah. Tapi sekarang kan aku sudah 17 tahun. Sudah cukup dewasa untuk bikin keputusan sendiri. Aku di sini dulu (melanjutkan karier),” pungkas Stefan. Penggemar pasti senang dengan keputusanmu, Stefan
Di sana, Stefan tidak tinggal bersama ayah atau ibunya yang masing-masing berkarier di Amerika Serikat dan Australia, melainkan dengan Oma dan Opanya (dari pihak Ibu). Pilihan yang cukup berani untuk anak sebelia dirinya.
“Mungkin enak saja kali ya tinggal sendiri. Bisa mandiri,” Stefan menggambarkan perasaannya ketika itu.
Kemandirian Stefan termasuk pada tidak adanya campur tangan keluarga terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Stefan menegaskan, pilihan terjun ke dunia akting bukan dorongan dari pihak ayah ataupun ibunya. “Ayah sebetulnya tidak terlalu mendukung. Dia mengharapkan aku mengikuti jejaknya berkarier di bidang IT,” buka Stefan.
“Dari dulu aku juga suka banget sama games-games komputer dan semacamnya. Mungkin nanti aku akan kuliah di Binus (Bina Nusantara). Tapi sekarang belum mantap saja ke arah situ. Fifty-fifty lah.” Fifty-fifty dengan apa? Yakni sesuatu yang berkaitan erat dengan dunianya sekarang.
“Aku juga kepengin melanjutkan kuliah di IKJ (Institut Kesenian Jakarta) bidang penyutradaraan,” akunya.
Pilihannya menjadi sutradara bukan karena terinspirasi mendiang leluhurnya Wim Umboh. Stefan bahkan tidak sempat mengenal sutradara jempolan itu secara langsung kecuali dari cerita-cerita yang disampaikan kepadanya.
Lingkungan syutingnya sehari-harilah yang lebih banyak memberi pengaruh terhadap minatnya. Kepada sutradara, Stefan tidak lagi melulu bertanya seputar akting, melainkan juga tentang teknik dan seluk-beluk penyutradaraan.
“Saya sering diskusi dengan sutradara dan kru,” kata Stefan yang gara-gara dilemanya itu membuat dirinya tidak langsung melanjutkan ke bangku kuliah selepas SMA.
“Aku sekarang belum kuliah, sambil menimbang-nimbang pilih yang mana,” sambungnya.
Sementara belum memutuskan akan melanjutkan studi, Stefan memilih untuk konsentrasi penuh di akting. Cowok yang mengaku pendiam dan pemalu ini belum puas dengan pencapaiannya. “Pengin lebih mendalami dan lebih bagus lagi aktingnya,” kata Stefan.
“Aku tidak boleh juga cepat berpuas diri. Nanti jadi sombong dan itu pasti akan bikin kita cepat jatuh,” analisisnya.
Omong-omong, kami teringat pernyataan Stefan beberapa tahun lalu saat memulai debut karier akting. Bahwa kelak di usia 17 tahun atau setelah lulus SMA, dia akan pindah kembali ke Amerika Serikat dan tinggal bersama ayah. Nah, usia 17 tahun pun telah terlewati setengah tahun yang lalu.
“Iya sih, dulu aku ngomong begitu. Rencananya begitu lulus SMA aku (mungkin) lanjut kuliah di Amerika dan tinggal bersama ayah. Tapi sekarang kan aku sudah 17 tahun. Sudah cukup dewasa untuk bikin keputusan sendiri. Aku di sini dulu (melanjutkan karier),” pungkas Stefan. Penggemar pasti senang dengan keputusanmu, Stefan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar